KEDUDUKAN DAN PERAN PASIRAH DALAM KEPEMIMPINAN TINGKAT MARGA DI PEDALAMAN PALEMBANG 1825—1942
JUDUL BUKU |
Kedudukan Dan Peran Pasirah Dalam Kepemimpinan Tingkat Marga Di Pedalaman
Palembang 1825—1942 |
KEPENGARANGAN |
Rimbun Natamarga |
TAHUN TERBIT |
2021 |
TEBAL BUKU |
x + 164 |
UKURAN BUKU |
14,8 x 21 cm |
ISBN |
978-623-91367-3-4 |
PENERBIT |
Yayasan Studi Ekonomi dan Kewirausahaan |
HARGA BUKU (BELUM TERMASUK ONGKIR) |
Rp 50.000,- |
PEMESANAN BUKU |
Kompleks Sembawa Azhar Permai Blok AF/05, RT 31 RW 07, Lalang Sembawa, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan 30953 |
TENTANG BUKU
MASYARAKAT
pedalaman Palembang adalah masyarakat perairan sungai yang terkategori secara
geografis dan sosial-budaya menjadi kawasan iliran
dan uluan. Dapat dikatakan bahwa
masyarakat iliran adalah masyarakat
terbuka yang berladang dan berdagang, sedangkan masyarakat uluan adalah masyarakat tertutup yang berladang untuk kebutuhan
sendiri. Pasirah di iliran adalah pemimpin suatu marga, sedangkan pasirah di uluan adalah
kepala sumbai. Sebagai pemimpin marga, seorang pasirah juga memiliki kedudukan sebagai seorang kepala adat
dan/atau sebagai kepala suku setempat yang memiliki wewenang dalam peradilan
adat setempat, sehingga memiliki wibawa yang diakui oleh rakyatnya
masing-masing dan telah tertanam bertahun-tahun.
Kewibawaan
yang dimiliki pasirah adalah faktor
yang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk menjalankan kepentingan
Belanda di pedalaman Palembang. Pemerintah kolonial merekayasa aturan adat
setempat dalam bentuk Undang-Undang
Simbur Cahaya, menambah penghasilan para pasirah menjadi 20% dari pajak, dan memberi wewenang untuk
mempekerjakan para kuli-bujang untuk
memperbesar wibawa para pasirah. Langkah-langkah ini dilakukan, karena
para pasirah ditempatkan sebagai
perantara antara pemerintah kolonial dengan rakyat di tingkat marga.
Posting Komentar